Topmetro.co, Medan – PT Bumi Karyatama Raharja (Bukara) di Dusun I Kelurahan Hamparan Perak Deli Serdang, Sabtu (16/7/2023) terpantau membuang limbah produksinya ke pemukiman dan lahan warga di Medan Marelan.
Terpantau, truk-truk mengangkut limbah Spent Bleaching Earth sisa produksi refenery (penjernih minyak sawit) yang diproduksi perusahaan milik asing tersebut ke beberapa lokasi di Kelurahan Terjun dan lokasi lain di Medan Marelan.
Ceceran limbah padat mirip tanah berwarna kuning pun berceceran di jalan jalan yang dilalui truk pengangkut limbah Spent Bleaching Earth yang ditabalkan dalam aturan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Menteri (Permen) LHK nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumut melalui staff Pengelolaan B3 dan Persampahan Zico Silalahi, Senin (17/7/2023) membenarkan, sesuai Permen LHK Nomor 10 Tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3 menyebutkan Spent Bleacing Eart dikategorikan limbah B3 yang penggunaannya bisa dilakukan dijadikan material misalnya batu bata dan lainnya.
Selanjutnya, disampaikan Zico, jika kadar minyak dalam Spent Bleacing Eart kurang dari 3 % bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang diberikan ke penerima baik perorangan maupun badan hukum yang disesuaikan Rencana Tekhnis Dokumen Lingkungan perusahaan penghasil limbah Spent Bleacing Eart.
Didampingi Kabid Pengelolaan B3 dan Persampahan pada DLHK Sumut Syafridah Siregar, Zico menekankan, pengelolaan limbah Spent Bleacing Earth yang tergolong B3 maupun memiliki kadar minyak rendah harus masuk dalam rencana tekhis dokumen lingkungan perusahaan yang menjabarkan penggunaan limbah tersebut.
Manajemen Security PT Bukara M Rauf dikonfirmasi wartawan, Rabu (12/7/2023) tak dapat menjelaskan, tentang dibuangnya limbah Spent Bleacing Earth oleh perusahaannya karena merupakan kewenangan Legal dan Humas perusahaan itu bernama Andry.
Hingga berita ini ditayangkan, mohon difasilitasi konfirmasi ke manajemen PT Bukara yang disampaikan melalui M Rauf tak mendapatkan jawaban. Di laman Whats App M Rauf hanya terlilhat 2 centang biru tanda pesan WA telah dibaca.
Informasi diperoleh, pembuangan limbah Spent Bleacing Earth dikelola sebuah badan hukum. Masyarakat yang memesan limbah proses refenery ini dipatok biaya mulai Rp200 ribuan pertruknya. Harga ini bisa lebih mahal jika lokasi pemesan Spent Bleacing Earth jauh dari lokasi pabrik PT Bukara.
Belum diperoleh keterangan dari Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumut Kombes Teddy Marbun maupun Kasubdit IV AKBP Jerico Lavian. Kedua pejabat Polda Sumut ini belum merespon informasi yang disampaikan wartawan beberapa waktu lalu.
Sumber wartawan belum lama ini menyebutkan, dalam produksi bahan refenery bahan dasar nya adalah tanah liat kering (Bentonite) asal India dicampur Asam Sulfat (H2SO4) dan kapur Tohor. Prosesnya dimasak (steam) selama 12 jam lalu dicuci (washing) dengan air dan diendapkan. Setelah itu dilakukan pemisahan bahan refenery lalu spent bleaching earth dan air yang dicampur kapur tohor selanjutnya dipress hingga menjadi limbah berwarna kuning dan air sisa diolah di instalasi pengelohan air limbah.
Sebagaimana dilansir https://dlhk.acehprov.go.id/2020/07/peraturan-menteri-lhk-nomor-10-tahun-2020-alternatif-solusi-klhk-untuk-pengelolaan-limbah-b3-spent-bleaching-earth/, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu 23 Juni 2020 menyelenggarakan Webinar ‘Best Practise Pengelolaan Limbah B3 Spent Bleaching Earth (SBE)’.
Webinar ini diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), KLHK, Rosa Vivien Ratnawati dalam pidatonya menyatakan bahwa, Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat B3 hasil proses penyulingan minyak sawit pada industri minyak goreng atau oleochemical.
Dari hasil penelitian, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Peningkatan jumlah industri minyak nabati berdampak peningkatan jumlah limbah SBE sehingga akan menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik.
Vivien menerangkan lebih lanjut, data Aplikasi Pelaporan Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK (SIRAJA) mencatat timbulan limbah SBE yang dihasilkan selama 3 (tiga) tahun terakhir terus meningkat. Tahun 2017 sebesar 184.162 ton, tahun 2018 meningkat sebanyak 637.475 ton serta tahun 2019 sejumlah 778.894 ton.
Vivien menyayangkan bahwa jumlah timbulan limbah SBE tidak sebanding dengan jumlah perusahaan pengelola SBE berizin, yang saat ini berjumlah 11 perusahaan dengan kapasitas total 116 ribu ton per tahun. “Gap antara limbah yang dihasilkan dengan limbah yang dimanfaatkan menyebabkan banyak SBE dibuang ilegal antara lain secara open dumping sebagai media urug”, terang Vivien.
Kabar baik dari KLHK, SBE sebagai Limbah B3 Sumber Spesifik Khusus, termasuk ke dalam 4 limbah B3 tertentu (SBE <3%, Fly ash, slag nikel, steel slag). Keempat limbah B3 tertentu di atas termasuk dalam kategori yang dipersingkat prosedur pengajuan pengecualian limbah B3. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3 yang baru diundangkan tanggal 4 Mei 2020.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, Ahmad Gunawan Wicaksono menjelaskan bahwa peraturan terbaru ini meliputi pengaturan tentang Tim Ahli Limbah B3, Uji karakteristik limbah B3 untuk pengecualian dan penetapan status limbah B3, penetapan limbah B3 sebagai produk samping serta pemantauan dan pelaporan.
SBE sebagai limbah B3 sebenarnya masih memiliki berbagai manfaat. Dalam paparannya, Guru Besar Bidang Pengelolaan Limbah Agroindiustri Universitas Lampung, Prof. Udin Hasanudin memaparkan berbagai penelitian pada jurnal internasional upaya pemanfaatan limbah SBE dalam skala laboratorium.
Paparan selanjutnya adalah best practice pemanfaatan SBE yang telah dilakukan dunia usaha, contohnya di Malaysia oleh EcoOils dan di Indonesia oleh grup Wilmar. Chief Operating Officer EcoOils, Hajjah Siti Nor Hachimah Hj. Mohd Aras, menyampaikan Zero Waste Concept dengan produk Spent Bleaching Earth Oil (SBEO) dan Eco-Processed Pozzolan (EPP). Sedangkan Ramdhani yang mewakili Wilmar Group menyampaikan implementasi pengelolaan limbah SBE, serta upaya melakukan penelitian terkait dengan pemanfaatan SBE sebagai media tanam.
Sebagai penutup, Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno menyimpulkan, melalui pendekatan model Circular Economy, pemanfaatan SBE dapat memberi kontribusi positif 4P : People, Planet, Profit, Prosperity bagi perusahaan, lingkungan, SDM serta masyarakat umum.
Sinta melanjutkan, pengelolaan limbah B3 tidak lagi hanya insinerasi dan landfill, namun pemanfaatan limbah SBE bernilai ekonomis seperti Bleaching Earth baru, produksi biodiesel serta berbaai potensi sebagai media tanam, katalis, briket dan sebagainya.
Peluang pemanfaatan SBE semakin menemukan titik cerah dengan terbitnya Permen LHK 10 tahun 2020 yang mengatur uji karakteristik dan penetapan limbah.
“Kolaborasi semua pihak baik dunia usaha, perguruan tinggi, pemerintah perlu terus dilakukan seiring dengan pesatnya pembangunan, bertambahnya jumlah penduduk serta perkembangan teknologi. Kajian ilmiah perlu terus dilakukan sebagai bagian dari upaya keselarasan pertumbuhan industri dengan pelestarian lingkungan”, tutup Sinta. (TM/RED)